Monday, 20 July 2015

bila kau tau bahagiaku sederhana

bahagiaversialflo


18 tahun, bukan lagi usia anak - anak, bukan lagi usia yang ideal untuk bermain – main seperti sepuluh tahun yang lalu.
Kini duniaku semakin nyata, duniaku semakin hidup dan duniaku semakin luas. Kini bukan hanya harus bahagia, kalimat sederhana yang terlintas dalam benakku. Tetapi, sudah saatnya aku tau jawaban dari lima pertanyaan dasar yang harus aku posisikan sebelum kata “bahagia” itu.
Iya, apa sejatinya bahagia itu?
Dimana posisi yang tepat untuk ku bahagia?
Kapan saat yang  tepat untuk ku bahagia?
Mengapa aku harus bahagia?
Dan bagaimana aku mendapatkan kebahagiaan sejati itu?
Sebenarnya bahagia itu sederhana. Begitu juga bahagiaku. Namun, sering kali orang mengatakan bahwa bahagia itu sulit dicari. Butuh perjuangan dan pengorbanan besar untuk menggapai suatu kebahagiaan.
Itu bukan sekedar opini belaka, bahagia yang identik dengan perjuangan dan pengorbanan besar itu memang benar. Tapi ada satu hal yang salah.
Aku memang anak IPA, buat aku science is everything. Tapi aku tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Aku hidup dalam lingkungan sosial. Kalaupun dalam matematika, fisika, kimia ataupun biologi tidak pernah diajarkan definisi bahagia, tapi sudah cukup banyak pelajaran kehidupan yang aku dapat, salah satunya tentang bahagia. Makna dari kata bahagia yang kudapat dari sekelilingku adalah pelajaran kehidupan, yaitu pelajaran yang tak akan aku dapatkan di bangku sekolah.
Dari sekian banyak hasil observasiku dari lingkungan sekitar, dari apa yang aku lihat, dan dari apa yang aku dengar, banyak orang dengan persepsinya mengatakan bahwa bahagia itu bisa diukur dengan materi yang berhasil kita kumpulkan?
Andakah di antara mereka?
Termasuk andakah orang yang menjadikan materi sebagai indikator suatu kebahagiaan?
Aku mengatakan tidak.
Semua itu salah. Sejatinya kebahagiaan itu datang dari hati, dari jiwa yang tentram dan damai.
Hampir dua puluh tahun dunia mengajariku tentang bahagia. Lima belas tahun yang lalu, sepuluh tahun yang lalu, lima tahun yang lalu dan sekarang, di saat aku menulis kembali rangkaian huruf b, a, h, a, g, i dan a dalam lembaran kertas putih tanpa pena ini, ibarat sebuah tangga menuju lantai paling atas yang ku artikan sebagai sebuah kedewasaan dimana dia memiliki beberapa anak tangga yang semakin ke atas ketinggianya bertambah pula. Setiap anak tangga itu adalah suatu proses yang selalu memberiku makna berbeda dan lebih luas lagi dari kata “bahagia” itu.
Jika lima belas tahun yang lalu bahagiaku adalah disaat mereka (mmpp) membelikanku sebuah boneka impianku,
Dan jika sepuluh tahun yang lalu bahagiaku adalah diberi hadiah saat aku menjadi juara kelas,
Maka lima tahun yang lalu bahagiaku adalah . . .
Di saat aku mulai bisa menggapai apa yang aku mimpikan dengan kedua tanganku sendiri. Saat itu aku tak lagi meminta benda – benda indah yang menarik mataku, aku tak lagi meminta hadiah, karena aku pikir, penghargaan terbesar berasal dari diriku sendiri, penghargaan terbesar aku dapatkan di saat orang – orang yang aku sayangi tersenyum karenaku.
Dan . . .
Tahun ini, di saat usiaku dua tahun lagi sudah menginjak dua abad persepuluh, bahagiaku hampir mencapai makna pada tangga yang paling atas, bahagia yang semakin kompleks, yaitu di saat ku mampu memaknai bahagia dengan menjawab kelima pertanyaanku tadi.
Jika aku bertanya pada diriku, apa sejatinya bahagia itu?
Aku harus tau bahwa bahagia itu tidak hanya mendapatkan semua hal yang kuinginkan, karena tidak setiap yang kuinginkan adalah yang terbaik untukku, begitu juga sebaliknya, aku memang bisa merencanakan sesuatu yang menurutku mampu memberiku bahagia, tapi yang menentukan adalah Dia. Dan perlu kutanamkan dalam jiwaku bahwa bahagia itu adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu di bawah ridho-Nya.
Dan jika aku bertanya pada diriku, dimana posisi yang tepat untuk ku bahagia?
Maka aku harus mengatakan bahwa lingkungan yang baik, lingkungan yang mampu menumbuhkan energi positif untuk ku belajar melakukan hal – hal lebih bermanfaat, lingkungan yang bisa membawaku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lingkungan yang membuatku bersandar karena kedamaian, ketenangan dan kenyamanan jiwa di saat ku berada disana adalah posisi yang tepat untuk ku senantiasa bersyukur dan bahagia.
Dan ketika aku bertanya pada diriku, kapan saat yang  tepat untuk ku bahagia?
Bahagia itu adalah di saat jiwa ini berlabuh pada kedamaian. Hanya hati yang mampu menjawab pertanyaan ini. Mulut bisa saja mengatakan “aku bahagia”, tetapi jika jiwa ini kekeringan, maka tak akan lama ragamu mampu berekspresi untuk menutupinya. Anda tau kenapa?
Karena salah satu hal yang paling menyakitkan adalah ketika harus tersenyum hanya untuk menutupi luka.
Maka bertanyalah pada hatimu.
Dan ketika aku bertanya , mengapa aku harus bahagia?
Aku terdiam sejenak, lalu aku mengingatNya, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Satu – satunya alasan mengapa kuharus bahagia adalah karena aku harus bersyukur atas segala nikmatNya.
Dan ketika aku bertanya lagi, bagaimana aku mendapatkan kebahagiaan sejati itu?
Maka jawabanku cukup sederhana,
USAHA dan DOA.
Simple tapi maknanya sungguh luas, aku rasa bahagia itu berada di ujung sebuah perjuangan yang mengatasnamakan nama-Nya, di ujung atau saat ku lihat pelangi indah di arena  sebuah perjalanan yang tidak menyimpang dari jalan-Nya. Alias halal J
Jadi, kita perlu tau, materi bukan satu – satunya indikator untuk suatu kebahagiaan. Banyak orang bergelimang harta dan kemewahan, tapi mereka tidak menemukan kedamaian dalam hati.
Lalu, mengapa aku menuliskan kalimat yang menyelipkan kata “bahagia” dan “sederhana” dalam judul tulisanku ini.
Aku ingin menyampaikan sesuatu kepada orang yang paling aku sayangi, namun aku tak mampu menyampaikanya dalam rangkaian kata – kata dari lisanku,
Aku hanya bisa mengungkapkan isi hatiku lewat hobiku, menulis J
Wahai kedua malaikatku, dan malaikat – malaikat yang mengelilingiku di surga sederhana ini,
Aku ingin kalian tau,
Seperti yang kalian tau, pendidikan adalah salah satu hal yang paling identik dengan hidupku. Belajar adalah nafasku, aku tak tau apa yang akan terjadi jika aku berhenti disini,
Masih bisakah aku bernafas lebih lama lagi?,
Aku masih menatap bintang di langit yang tinggi itu,
Aku masih berharap untuk bisa menggapainya,
Dan aku masih akan terus berjuang dalam sisa waktuku ini.
Namun aku sadar, aku hanya berjuang dengan kedua tanganku yang penuh keterbatasan ini,
Aku tak mampu terbang tanpa kalian,
Aku tau kalian memiliki sayap untukku,
Untukku terbang meraih bintang itu,
Tapi aku tidak ingin memakai sayap itu hanya untuk menuntut hak dari kalian,
Hanya untuk memenuhi kewajiban kalian,
Aku tak ingin terbang seorang diri, aku ingin ke angkasa bersama kalian,
Tidaklah tega bila ku terbang sendiri dengan sayap itu,
Untuk itu aku mohon,
Mengertilah bahagia ku yang cukup sederhana ini,
Aku tau aku memiliki Zat Yang Maha Perkasa, Maha Besar dan Maha Menolong,
Sayap itu bukan satu – satunya kekuatan yang akan membawaku terbang untuk meraih bintang itu,
Lewat rangkaian kalimat ini, jari tanganku berusaha mengungkapkan apa yang tak berani kuminta lewat kata,
Yang pertama, aku butuh do’a dari kalian,
Kalian adalah malaikatku, aku percaya, setiap lantunan tasbih mu pastilah di dengar oleh-Nya,
Aku ingin kita buka mata yang terpejam di kesunyian malam,
Lalu kita hadapkan wajah kita yang hina ini di hadapan-Nya,
Dengan segala kerendahan, dengan segala keterbatasan,
Bahkan dengan cucuran air mata ketulusan,
Aku ingin kita bersama – sama mengatakan kepada-Nya,
Hanya kepada Mu kami bergantung.
Munkin kalian memang memiliki sayap untukku menggapai bintang itu,
Tapi kapanpun Dia mau,
Dia bisa mengambil sayap itu dariku,
Apa kalian ingin selamanya aku duduk terdiam, hanya memandangi bintang itu,
Seperti pungguk yang merindukan rembulan,
Hanya saja aku seorang pemimpi yang merindukan bintang.
Satu lagi yang aku pinta dari kalian, wahai malaikatku,
Temani aku menggapai bintang itu,
Jangan mengacungkan jari telunjuk kalian di saat ku terjatuh,
Tapi aku berharap,
Senyum kalian selalu menyinariku,
Karena itu akan membuatku mampu terbangun dan bangkit lagi untuk menggapai bintang itu.
Sejatinya langkah demi langkah kaki ini,
Karena kuingin membawa bintang itu untuk kalian.
Itulah bahagiaku....
.....yang sederhana J
Sesederhana di saat ku tersenyum, mengingatNya dan mengatakan “Terimakasih Tuhan”.

By : Fini_Fidi_Fisi.co.id/07.07.2015




No comments:

Post a Comment