lorong_berujung_surga
Lorong
Berujung Surga
12:05,
Tiba – tiba mata yang terpejam ini terbuka,
Tertuju pada jam dinding di sudut kamarku,
Kulihat waktu yang tak biasa itu,
Kenapa tak biasa?
Karena aku tak tau, entah mengapa detik demi detik yang
berlalu dalam kesunyian malam ini seakan dengan kerasnya mengusik lelapnya
tidurku, dan membuyarkan riak di alam mimpi.
Entah kekuatan apa yang mampu membangunkan ku, aku seperti
orang yang rindu kedamaian. Entah mengapa kata galau yang dulu tak pernah ada
dalam kamus hidupku, tiba – tiba menyapaku dan membelah gelapnya malam.
Aku terdiam sejenak,
Lalu kunyalakan lampu kamarku, karena ketidaknyamananku dalam
kegelapan,
Lalu kucoba untuk berfikir,
Kucoba untuk bertanya pada diriku sendiri,
Dan kucoba untuk menjawabnya sendiri,
Namun tak juga kutemukan teka – teki yang terlintas dalam
benakku.
Aku mencoba bertanya,
Apa aku teringat pada suatu sosok, sosok yang biasanya selalu
teringat dalam sepiku, sosok yang tak bisa kubuang dari jalan pikiran ini,
Namun, kali ini aku tak mengingatnya,
Aku tidak sedang merasakan kegalauan yang biasanya karena
“cinta”
Bukan itu . . .
Lalu kucoba untuk membangunkan ragaku ini dari hamparan pulau
kapuk itu,
Kuarahkan langkah kakiku keluar dari kamar ini,
Kucari kedamaian dalam segarnya gemercik air itu,
Tak terasa dingin seperti biasanya,
Justru air di malam ini yang membuka pandanganku lebih luas,
Kucoba membasuh wajah ini,
Kucoba melakukan hal sama seperti yang kulakukan di pertiga
malam sebelumnya,
Namun kuteringat,
Malam ini aku tak suci,
Aku tak bisa memakai almamater putih itu dan menengadahkan
kedua tanganku di hadapan-Nya,
Lalu kukembali ke kamar, kuambil benda kesayanganku di almari
kecilku, kucoba mengungkapkan semua keresahan dan kegalauan dalam hati lewat
jari – jari tanganku, kucoba menumpahkan segala rasa dalam rangkaian kata dalam
lembaran putih ini,
Ujung pena itu terus menorehkan tintanya, seakan ia tau apa
yang dikatakan hatiku, dan terus berusaha merangkai huruf demi huruf yang tak
mampu kuungkapkan dengan kata . . .
Hembusan angin malam membawaku mengembara dalam suasana baru,
Aku seperti berada dalam suatu lorong yang luas, dimana aku
menghadap pada salah satu ujungnya,
Ujung lorong di depanku itu tak terlihat begitu jelas, begitu
juga ujung yang kubelakangi, justru semakin menjauh pula.
Dengan kedua mataku, kucoba membelah rasa penasaranku,
kupandangi semua sisi lorong itu, mulai dari samping kananku, atasku, samping
kiriku dan yang di bawahku hingga kembali pada suatu titik dimana titik itu
seperti ujung sebuah jari – jari lingkaran yang akan selalu menjadi posisi
pertama dan terakhir dalam suatu rotasi.
Seraya memandangi sisi lorong itu, aku merasa lorong itu
seperti sebuah tabung tanpa tutup di kedua sisinya, dindingnya menyerupai
sebuah lingkaran, karena ia memiliki sisi yang demikian banyak, dengan kata
lain tak terbatas, hingga tak terlihat lagi ukuranya.
Iya, penampang lorong itu terhampar luas membentuk selimut
suatu tabung, penampangnya melingkar, bukan segi empat, segilima atau bahkan
segi berapapun, karena seginya tak mampu kuhitung dengan logika berpikirku.
Jika kulihat kembali pada dinding lorong itu, aku melihat
beraneka ragam bebatuan yang terangkai dengan indahnya. Ada batu yang kecil,
agak besar dan bahkan ada yang amat besar. Ada batu yang datar, runcing, kotak,
bulat dan bentuk – bentuk lain yang tak mampu untuk kukenali lagi.
Aku tak terpikir lagi, seberapa hebat arsitek yang mendesain
bangunan lorong itu, bahkan tak ada satupun tiang yang menjadi penyangga dalam
kokohnya bangunan lorong itu.
Aku ingin berlari secepatnya menelusuri lorong itu, karena
rasa penasaranku apa yang ada di dalam lorong depan itu, dan dimana lorong itu
berujung. Tapi aku tak bisa, seperti ada kabut yang menutupi di depanku, dan
aku hanya bisa berjalan dengan kecepatan yang seakan telah didesain sedemikian
rupa . . .
Tak...tak...tak...
Suara detik jam kamarku tiba – tiba terdengar lagi,
membubarkan lamunanku dalam lorong itu, seraya mengembalikanku dari suasana
lorong misterius itu dan kembali ke dunia nyata di kamar tidurku.
Aku seperti orang yang baru sadar akibat efek obat bius,
layaknya orang yang baru bangun dari alam tak sadarnya selama operasi.
Hemm... aneh yang kurasa.
Kubaringkan tubuhku untuk mengembalikan kesadaranku,
kupandangi langit – langit kamarku dan sedikit demi sedikit kucoba mengingat
apa yang telah terjadi padaku.
Sambil mengatur nafas, aku mulai bisa mengingat kejadian
beberapa menit yang lalu, secara refleks aku mengatakan dengan pelan, “lorong
itu?”.
Iya, lorong itu adalah refleksi dari hidup ini, cerminan dari
kehidupan di panggung sandiwara ini.
Ujung lorong yang kulihat di depanku itu adalah masa depanku,
masa yang akan aku lewati beberapa waktu yang akan datang. lorong itu adalah
dunia dimana aku akan merasakan ulang tahun ku yang ke sembilan belas, dua
puluh, dua puluh satu, tiga puluh dan seterusnya, hingga batas waktu yang telah
ditentukanNya.
Dan . . .
Ujung lorong yang ada di belakangku adalah masa laluku, masa –
masa yang telah kulewati sejak delapan belas tahun yang lalu. Itulah mengapa
aku tak bisa melangkahkan kakiku ke lorong yang di belakangku. Tetapi aku hanya
bisa mengingat setiap langkah di lorong itu yang membawaku ke posisi sekarang,
dan itu adalah sebuah pengalaman, guru terbaik yang memberi pelajaran untuk
masa depan.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri,
“bisakah hidup ini dikatakan segi-n?”
Aku pernah berpikir bahwa hidup ini bisa diasumsikan sebagai
sebuah lingkaran. Karena aku rasa segi kehidupan itu terlalu banyak, dengan
kata lain tidak terbatas. Seperti karakter dinding lorong dalam lamunanku.
Saat jarum panjang jam dinding di kamar tidurku menunjuk tepat
di angka 02.00, aku belum juga terlelap, aku masih hanyut dalam refleksi lorong
itu. Aku mengangkat kedua tanganku dan memandanginya,
Aku merasa kecil, serasa tak sanggup menaklhukan segi – segi
kehidupan yang demikian banyak itu hanya dengan sayap ini. Sayap yang hanya berupa
kedua tangan ini.
Sementara di balik satu sisi saja dari sekian sisi itu membuka
pilihan yang sekian banyak juga. Padahal, memilih option a s/d e saja kadang
masih susah, apalagi kalau optionya tentang pilihan hidup. Tak semudah
menghafal trigonometri juga, karena materi kehidupan itu tak ada rumus eksaknya
yang bisa dihafal saat mau ulangan L
Tetapi, aku ingat Arsitek hebat yang luar biasa itu.
Dia lah Allah, Tuhanku Yang Maha Kuasa, yang mengatur bumi ini
tetap kokoh tanpa satupun tiang penyangga, yang mengatur bumi ini dalam
rotasinya, dalam revolusinya mengelilingi sang surya dan keseimbanganya
menyangga kehidupan manusia dan seluruh ciptaanNya.
Sekian banyaknya segi kehidupan itu memang tak bisa kita desain
sesempurna rancanganNya. Hidup ini keras, sekeras bebatuan yang merangkai
lorong itu. Bahagia bukan satu – satunya warna dalam pelangi kehidupan ini,
karena terkadang . . .
Kenyataan terasa begitu egois,
Tak bisa dinego seperti halnya rumus matematika ataupun
fisika.
Tapi jangan pernah lupa,
Ada kekuatan Maha Besar yang membuat semua hal masuk logika
dan tak ada sesuatupun yang mustahil.
Dia Maha Melihat, apa yang dilakukan makhluk-Nya, Dia bisa
menghendaki segalanya, tinggal siapa yang bersungguh – sungguh ingin mengubah
takdirnya menjadi lebih baik. Tapi barangsiapa hanya berbekal cara instant,
maka hasil yang akan didapat juga akan instant . . .
Sahabatku . . .
Hidup ini bukan sekedar menghindari mati,
Tetapi hidup adalah cara,
Lebih penting bagaimana prosesnya saat kita berjalan.
Boleh kita bermain, tapi jangan berlebihan, karena hidup bukan
sekedar permainan,
Tetapi . . .
Mengubah haluan menembus kabut dalam lorong itu hingga
berujung SURGA . . J
Memang, kita tak bisa mengatur segalanya
untuk membuat hidup sempurna, tapi
kita bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya lebih baik . . .
J by : Fini_Fidi_Fisi.co.id/09.07.2015J