Friday, 4 September 2015

lorong_berujung_surga



 Lorong Berujung Surga
12:05,
Tiba – tiba mata yang terpejam ini terbuka,
Tertuju pada jam dinding di sudut kamarku,
Kulihat waktu yang tak biasa itu,
Kenapa tak biasa?
Karena aku tak tau, entah mengapa detik demi detik yang berlalu dalam kesunyian malam ini seakan dengan kerasnya mengusik lelapnya tidurku, dan membuyarkan riak di alam mimpi.
Entah kekuatan apa yang mampu membangunkan ku, aku seperti orang yang rindu kedamaian. Entah mengapa kata galau yang dulu tak pernah ada dalam kamus hidupku, tiba – tiba menyapaku dan membelah gelapnya malam.
Aku terdiam sejenak,
Lalu kunyalakan lampu kamarku, karena ketidaknyamananku dalam kegelapan,
Lalu kucoba untuk berfikir,
Kucoba untuk bertanya pada diriku sendiri,
Dan kucoba untuk menjawabnya sendiri,
Namun tak juga kutemukan teka – teki yang terlintas dalam benakku.
Aku mencoba bertanya,
Apa aku teringat pada suatu sosok, sosok yang biasanya selalu teringat dalam sepiku, sosok yang tak bisa kubuang dari jalan pikiran ini,
Namun, kali ini aku tak mengingatnya,
Aku tidak sedang merasakan kegalauan yang biasanya karena “cinta”
Bukan itu . . .
Lalu kucoba untuk membangunkan ragaku ini dari hamparan pulau kapuk itu,
Kuarahkan langkah kakiku keluar dari kamar ini,
Kucari kedamaian dalam segarnya gemercik air itu,
Tak terasa dingin seperti biasanya,
Justru air di malam ini yang membuka pandanganku lebih luas,
Kucoba membasuh wajah ini,
Kucoba melakukan hal sama seperti yang kulakukan di pertiga malam sebelumnya,
Namun kuteringat,
Malam ini aku tak suci,
Aku tak bisa memakai almamater putih itu dan menengadahkan kedua tanganku di hadapan-Nya,
Lalu kukembali ke kamar, kuambil benda kesayanganku di almari kecilku, kucoba mengungkapkan semua keresahan dan kegalauan dalam hati lewat jari – jari tanganku, kucoba menumpahkan segala rasa dalam rangkaian kata dalam lembaran putih ini,
Ujung pena itu terus menorehkan tintanya, seakan ia tau apa yang dikatakan hatiku, dan terus berusaha merangkai huruf demi huruf yang tak mampu kuungkapkan dengan kata . . .
Hembusan angin malam membawaku mengembara dalam suasana baru,
Aku seperti berada dalam suatu lorong yang luas, dimana aku menghadap pada salah satu ujungnya,
Ujung lorong di depanku itu tak terlihat begitu jelas, begitu juga ujung yang kubelakangi, justru semakin menjauh pula.
Dengan kedua mataku, kucoba membelah rasa penasaranku, kupandangi semua sisi lorong itu, mulai dari samping kananku, atasku, samping kiriku dan yang di bawahku hingga kembali pada suatu titik dimana titik itu seperti ujung sebuah jari – jari lingkaran yang akan selalu menjadi posisi pertama dan terakhir dalam suatu rotasi.
Seraya memandangi sisi lorong itu, aku merasa lorong itu seperti sebuah tabung tanpa tutup di kedua sisinya, dindingnya menyerupai sebuah lingkaran, karena ia memiliki sisi yang demikian banyak, dengan kata lain tak terbatas, hingga tak terlihat lagi ukuranya.
Iya, penampang lorong itu terhampar luas membentuk selimut suatu tabung, penampangnya melingkar, bukan segi empat, segilima atau bahkan segi berapapun, karena seginya tak mampu kuhitung dengan logika berpikirku.
Jika kulihat kembali pada dinding lorong itu, aku melihat beraneka ragam bebatuan yang terangkai dengan indahnya. Ada batu yang kecil, agak besar dan bahkan ada yang amat besar. Ada batu yang datar, runcing, kotak, bulat dan bentuk – bentuk lain yang tak mampu untuk kukenali lagi.
Aku tak terpikir lagi, seberapa hebat arsitek yang mendesain bangunan lorong itu, bahkan tak ada satupun tiang yang menjadi penyangga dalam kokohnya bangunan lorong itu.
Aku ingin berlari secepatnya menelusuri lorong itu, karena rasa penasaranku apa yang ada di dalam lorong depan itu, dan dimana lorong itu berujung. Tapi aku tak bisa, seperti ada kabut yang menutupi di depanku, dan aku hanya bisa berjalan dengan kecepatan yang seakan telah didesain sedemikian rupa . . .
Tak...tak...tak...
Suara detik jam kamarku tiba – tiba terdengar lagi, membubarkan lamunanku dalam lorong itu, seraya mengembalikanku dari suasana lorong misterius itu dan kembali ke dunia nyata di kamar tidurku.
Aku seperti orang yang baru sadar akibat efek obat bius, layaknya orang yang baru bangun dari alam tak sadarnya selama operasi.
Hemm... aneh yang kurasa.
Kubaringkan tubuhku untuk mengembalikan kesadaranku, kupandangi langit – langit kamarku dan sedikit demi sedikit kucoba mengingat apa yang telah terjadi padaku.
Sambil mengatur nafas, aku mulai bisa mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, secara refleks aku mengatakan dengan pelan, “lorong itu?”.
Iya, lorong itu adalah refleksi dari hidup ini, cerminan dari kehidupan di panggung sandiwara ini.
Ujung lorong yang kulihat di depanku itu adalah masa depanku, masa yang akan aku lewati beberapa waktu yang akan datang. lorong itu adalah dunia dimana aku akan merasakan ulang tahun ku yang ke sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu, tiga puluh dan seterusnya, hingga batas waktu yang telah ditentukanNya.
Dan . . .
Ujung lorong yang ada di belakangku adalah masa laluku, masa – masa yang telah kulewati sejak delapan belas tahun yang lalu. Itulah mengapa aku tak bisa melangkahkan kakiku ke lorong yang di belakangku. Tetapi aku hanya bisa mengingat setiap langkah di lorong itu yang membawaku ke posisi sekarang, dan itu adalah sebuah pengalaman, guru terbaik yang memberi pelajaran untuk masa depan.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri,
“bisakah hidup ini dikatakan segi-n?”
Aku pernah berpikir bahwa hidup ini bisa diasumsikan sebagai sebuah lingkaran. Karena aku rasa segi kehidupan itu terlalu banyak, dengan kata lain tidak terbatas. Seperti karakter dinding lorong dalam lamunanku.
Saat jarum panjang jam dinding di kamar tidurku menunjuk tepat di angka 02.00, aku belum juga terlelap, aku masih hanyut dalam refleksi lorong itu. Aku mengangkat kedua tanganku dan memandanginya,
Aku merasa kecil, serasa tak sanggup menaklhukan segi – segi kehidupan yang demikian banyak itu hanya dengan sayap ini. Sayap yang hanya berupa kedua tangan ini.
Sementara di balik satu sisi saja dari sekian sisi itu membuka pilihan yang sekian banyak juga. Padahal, memilih option a s/d e saja kadang masih susah, apalagi kalau optionya tentang pilihan hidup. Tak semudah menghafal trigonometri juga, karena materi kehidupan itu tak ada rumus eksaknya yang bisa dihafal saat mau ulangan L
Tetapi, aku ingat Arsitek hebat yang luar biasa itu.
Dia lah Allah, Tuhanku Yang Maha Kuasa, yang mengatur bumi ini tetap kokoh tanpa satupun tiang penyangga, yang mengatur bumi ini dalam rotasinya, dalam revolusinya mengelilingi sang surya dan keseimbanganya menyangga kehidupan manusia dan seluruh ciptaanNya.
Sekian banyaknya segi kehidupan itu memang tak bisa kita desain sesempurna rancanganNya. Hidup ini keras, sekeras bebatuan yang merangkai lorong itu. Bahagia bukan satu – satunya warna dalam pelangi kehidupan ini, karena terkadang . . .
Kenyataan terasa begitu egois,
Tak bisa dinego seperti halnya rumus matematika ataupun fisika.
Tapi jangan pernah lupa,
Ada kekuatan Maha Besar yang membuat semua hal masuk logika dan tak ada sesuatupun yang mustahil.
Dia Maha Melihat, apa yang dilakukan makhluk-Nya, Dia bisa menghendaki segalanya, tinggal siapa yang bersungguh – sungguh ingin mengubah takdirnya menjadi lebih baik. Tapi barangsiapa hanya berbekal cara instant, maka hasil yang akan didapat juga akan instant . . .
Sahabatku . . .
Hidup ini bukan sekedar menghindari mati,
Tetapi hidup adalah cara,
Lebih penting bagaimana prosesnya saat kita berjalan.
Boleh kita bermain, tapi jangan berlebihan, karena hidup bukan sekedar permainan,
Tetapi . . .
Mengubah haluan menembus kabut dalam lorong itu hingga berujung SURGA . . J
Memang, kita tak bisa mengatur segalanya untuk membuat hidup sempurna, tapi
kita bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya lebih baik . . .


                                                          J by : Fini_Fidi_Fisi.co.id/09.07.2015J